MENGGUNCANG KESADARAN PENDIDIKAN INDONESIA
Hugo D G Indratno Ki Hadjar Dewantara dengan semboyan “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” begitu mengakar pada setiap insan Indonesia khususnya insan pendidikan Indonesia. Sering kali semboyan ini diartikan bahwa seorang guru hendaknya memberi teladan, kemudian membangun semangat belajar dan pada akhirnya memberikan motivasi bagi siswa-siswinya. Sebatas itukah pemahaman dan perwujudan kita semua terhadap semboyan luhur tersebut? Selaras dengan semboyan Ki Hadjar Dewantara yang begitu menginspirasi, seluruh bangsa ini tentunya berkeinginan untuk mewujudkannya. Namun, apa yang kita lihat dari tahun ke tahun adalah pencideraan dunia pendidikan ini oleh banyak individu. Secara tegas, saya mengatakan di sini bahwa pencideraan dilakukan oleh individu. Akan sangat naif apabila kita saling menyalahkan antar lembaga karena semua lembaga yang berkaitan dengan pendidikan, bertujuan untuk memajukan pendidikan, bukan mementahkannya. Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara, SJ mendefinisikan pendidikan sebagai “Pemanusiaan Manusia”. Jelas sekali bahwa pendidikan adalah milik manusia. Pendidikan ada dan akan tetap ada sepanjang manusia hidup dengan atau tanpa sebuah pemerintahan. Pendidikan hendaknya menjadi milik bangsa, bukan milik pemerintahan. Dengan kata lain, pendidikan adalah menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya institusi pendidikan dan pemerintah. Tanggung jawab bersama di sini berarti seluruh lapisan masyarakat karena semuanya mempunyai kontribusi dalam pendidikan baik itu secara formal maupun non formal. Penataan pendidikan di Indonesia sering digunjingkan sebagai satu musim yang datang silih berganti. Secara pribadi saya melihat bahwa kebijakan yang tentunya dibuat untuk kebaikan, namun kebijakan yang dibuat sering disalahgunakan demi kepentingan beberapa individu. Sungguh suatu keprihatinan ketika beberapa pihak saling menyerang atas kebijakan yang dibuat. Saling menyerang bukanlah satu penyelesaian. Pembuat kebijakan pendidikan di Indonesia sudah saatnya menata diri sendiri tidak bergantung pada rezim ataupun terintervensi oleh kepentingan individu atau kelompok yang ada di lembaga tinggi negara. Melihat Kail, Bukan Ikannya dan Mimpi-Mimpi Beberapa tahun terakhir, pemerintah membuat satu kebijakan untuk mengembangkan kualitas pendidik dengan program sertifikasi pendidik. Sebagai satu kebijakan, tentunya ada satu tujuan yang baik untuk dicapai. Banyak pertanyaan yang kemudian muncul di benak ini, salah satunya adalah, apakah para pendidik benar-benar ingin mengembangkan kualitas profesi mereka sesuai kebijakan yang diluncurkan? Di tahun 2012, saya mengikuti Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang menjadi satu prasyarat untuk mendapatkan sertifikasi guru. Secara pribadi, saya melihat ini sebagai satu proses penyegaran dan penyadaran kembali pada tanggung jawab profesi dan panggilan. Dalam PLPG, saya melihat satu semangat dari pemerintah, dengan segala keterbatasannya mengurus sekian juta guru, untuk menuntaskan amanat UUD 1945 mengenai mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan bangsa yang cerdas, tentu pengajarnya juga haruslah cerdas. PLPG oleh beberapa pihak dipertanyakan keefektifan dan kebermanfaatannya. Dalam benak saya, sewajarnya, para pendidik yang telah mengikut PLPG turut mempertanyakannya sebagai bentuk refleksi profesi. Sementara posisi pemerintah, sudah selayaknya juga melihat ke lapangan, apakah yang telah diperbuat memberi efek domino ataukah sekedar menjadi satu kegiatan “hit and run”, atau “sekali berarti, sudah itu mati” - meminjam selarik puisi berjudul “Diponegoro” karya Chairil Anwar. Apabila PLPG sebagai satu pelatihan telah menginspirasi banyak dari peserta untuk membangun refleksi profesi, maka hingga saat ini paling tidak ada reaksi dari para guru sendiri dan sistem pendidikan dalam pemerintahan. Reaksi yang saya harapkan masih saya impikan. Saya memimpikan adanya satu kerjasama (networking) mandiri guru-guru yang saling bertukar pikiran, saling berbagi inovasi mengajar yang telah mereka praktekan. Saya memimpikan kebebasan berkumpul untuk berinovasi yang tanpa harus mendapat restu dan supervisi dari pejabat pendidikan. Mimpi saya mungkin akan semakin terang benderang apabila para pejabat pendidikan mendorong suasana kondusif untuk hadirnya banyak kelompok mandiri, bukan karena keterikatan dinas yang selama ini terjadi, melainkan karena keinginan untuk maju bersama dalam pendidikan. Saya teruskan mimpi-mimpi saya. Saya bermimpi ketika kerjasama mandiri telah dilakukan oleh para guru, maka pembelajaran yang terjadi di dalam kelas akan lebih bervariasi. Apakah mimpi itu bisa terwujud? Tentunya mimpi-mimpi itu bisa terwujud apabila kita mulai bangkit, berdiri dan berjalan mewujudkan mimpi-mimpi itu. Saya punya mimpi dimana para guru membangun komunitas mandiri yang saling bertukar pikiran tentang pembelajaran yang mereka lakukan di kelas. Pembelajaran yang mereka pilih dari sekian kali pembelajaran yang mereka lakukan untuk mendapatkan formula yang tepat dan inspirasional bagi siswa-siswinya. Guru adalah manusia biasa yang penuh jatuh bangun dalam menjalankan pembelajaran di kelas. Namun begitu, saya yakin bahwa seorang guru selayaknya bangga akan pembelajaran yang mereka bangun berdasarkan pembelajaran bertahun-tahun yang berusaha mereka sempurnakan disesuaikan dengan karakter dan jaman dari siswa-siswinya. Pada akhirnya, seorang guru tidaklah bisa berhenti. Ia harus turut berputar seiring berputarnya roda jaman. Ia harus bisa berpikir menggunakan pola pikir anak didiknya. Bagaimana seorang guru bisa berkembang apabila ia menolak untuk berkembang? Marilah, dengan segala keterbatasan manusiawi sebagai guru dan individu, kita melihat cakrawala di mana kelas itu tiada batasnya. Namun ada satu hal yang patut kita camkan, Anda semua adalah guru. Hal ini tidak terbatas karena Anda mengajar di kelas, tapi karena Anda adalah orang tua yang mendidik anak-anak di keluarga, karena Anda menularkan kebiasaan baik di jalan, di tempat kerja maupun di manapun Anda berada, karena anda memberi perhatian pada mereka yang membutuhkan dan karena sejuta alasan di mana kita semua memberi teladan di depan mata mereka, membangkitkan semangat belajar ataupun bekerja dan mendorong dengan motivasi tidak hanya bagi siswa-siswi tapi juga semua orang di sekitar. Ingatlah, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani! April, 2013 Hugo Indratno
0 Comments
Setelah tulisan saya menyebar di blog, majalah dan tabloid nirlaba, tampaknya harian KOMPAS menilai tulisan saya cukup aktual untuk dimuat. KOMPAS memuat tulisan ini pada tanggal 22 April 2013. Kebetulan dekat-dekat dengan tanggal itu, saya berulang tahun. Sepertinya, ini adalah "kado" ulang tahun buat saya. Terima kasih KOMPAS!
Selamat menikmati! salam, Hugo Indratno "Ketika prestasi guru diterjemahkan dalam suatu penilaian
maka peran agen perubahan itu gugur" Beberapa kali saya membaca berita tentang guru berprestasi. Dalam benak saya, terlintas kekaguman setelah selesai membaca berita-berita tersebut. Kekuatan berita itu sungguh membuat saya terkesiap dan berkata pada diri saya sendiri,"Benar-benar hebat mereka ini." Namun begitu, setelah mengalami pengendapan beberapa saat, saya mulai tergelitik oleh beberapa pertanyaan. Salah satunya adalah, apakah mereka yang tidak 'terjaring' dalam kategori berprestasi itu tidak berprestasi? Semoga saja tidak. Salah satu peran guru dalam masyarakat adalah sebagai agen perubahan. Dengan pengajaran yang diberikan, para guru bisa memberikan visi menjadi misi pada anak-anak didik mereka. Sebuah tatanan masyarakat akan sangat timpang tanpa kehadiran guru yang memberikan pengajaran ilmu hidup, melengkapi apa yang generasi muda dapatkan dari rumah. Saya secara pribadi lebih mengagumi para guru yang mau bekerja di pelosok negeri ini tanpa punya pretensi untuk dikenal. Beberapa kali saya mendapatkan profil para guru yang bekerja di pedalaman penjuru negeri ini selama bertahun-tahun. Saya sebagai pribadi dan sebagai seorang guru merasa malu untuk mengatakan bahwa saya adalah guru yang hebat dan berprestasi. Karena apa? Karena ketika prestasi guru diterjemahkan dalam suatu penilaian, maka nilai kita sebagai agen perubahan itu akan gugur dengan sendirinya. Selayaknya, penilaian guru berprestasi dilihat dari ketulusan pengabdian yang dilakukan dalam keterbatasan dan dilakukannya penilaian benar-benar tanpa satu panggung ujian pengumpulan berkas-berkas pendukung yang tinggal gaung. "Penghargaan itu tidak selalu berkaitan dengan uang dan publisitas" Secara pribadi, saya mengenang ketokohan para guru saya di masa lalu. Saya begitu mengagumi Ibu Wati, guru saya di kelas 1 SDN Kesdam IV Diponegoro yang begitu enerjik mengajar kami dalam jumlah besar. Saya mengagumi beliau yang dengan detil melihat kekurangan dan kelebihan kami. Saya juga mengagumi bagaimana beliau mengespresikan kesedihannya ketika memang ada satu atau dua siswanya yang harus tinggal kelas. Penghargaan setinggi-tingginya saya berikan kepada semua guru saya seperti Ibu Sri, Ibu Camelia Sitanggang, Ibu Esti, Bapak Soewardi yang mengajar kami semua di saat pertumbuhan penduduk Indonesia sedang dikendalikan. Bagaimana mereka mengajar di kelas? Buat saya pribadi, dengan segala keterbatasan dukungan alat ajar dan waktu, mereka sungguh inspiratif! Maka buat saya pribadi, ketika penghargaan guru teladan diberikan dalam bentuk perlombaan, sama sekali tidak mengena. Ada hal yang harus kita ingat bahwa penghargaan itu tidak selalu berkaitan dengan uang dan publisitas, melainkan lebih dari itu. Penghargaan itu berkaitan dengan ketokohan, ketulusan dan kesaksian mereka yang merasakan keteladanan mereka. Mungkin kebutuhan untuk menjaring mereka yang berprestasi bisa dijadikan suatu tolok ukur untuk institusi. Namun begitu, apakah itu mewakili kebenaran? Pada akhirnya, saya lebih melihat pada bagaimana kita membuka mata fisik dan batin kita untuk melihat prestasi sebagai suatu pengejawantahan agen perubahan buat masyarakat. Banyak prestasi yang tidak terukur oleh Penelitian Tindakan Kelas, keaktifan organisasi, sertifikat yang didapat ataupun keterkenalan. Buat saya, ketulusan melayani mereka yang berada jauh dari jangkauan, keteladanan dalam keterbatasan, kesetiaan dalam pengabdian, ketiganya lebih berarti. salam, Hugo Indratno Hallo, apa kabar semuanya?
Setelah sekian lama, kembali saya menulis dalam Bahasa Indonesia. Tulisan ini, saya dedikasikan buat teman-teman Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2012 Rayon Universitas Negeri Jakarta, khususnya yang berlokasi di Graha Insan Cita, kelas C1/ 0001, dan juga untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menyelenggarakannya. Satu ekspresi untuk semua hal yang saya dapat: Terima kasih! Ketika mendengar kata sertifikasi, sebagai ujung pangkal dari PLPG ini, saya dengan yakin berbisik pada diri sendiri bahwa ini pastilah satu simpul kegelisahan pemerintah - dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - untuk meningkatkan kualitas pendidikan negeri ini. Seperti amanat dalam pembukaan UUD 1945, dimana "mencerdaskan kehidupan bangsa" disebut dengan lantang, maka ujung tombak untuk itu pastilah pendidikan yang diterjemahkan dalam diri para guru. Lalu kesempatan itu datang pada diri saya pribadi dimana saya tidak kuasa menolaknya demi kemajuan personal dan bangsa. Pendidikan dan Latihan Profesi Guru atau lebih populer melalui singkatannya PLPG, diperuntukan bagi para guru dengan tujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan penghargaan atas profesi yang mereka geluti. Banyak kekhawatiran yang ada dalam benak para guru ketika mengikuti PLPG ini. Salah satu ujung kekhawatiran tersebut adalah: lulus tidak saya nanti? Ada juga yang berpikir menuju penghargaan atas profesionalisme itu dengan UUD (ujung-ujungnya duit). Namun begitu, bagi saya pribadi, ketakutan dan UUD tadi tidak menjadi persoalan penting. Persoalan terpenting dalam PLPG bagi saya adalah, "Apakah benar, para guru di Indonesia ini, khususnya angkatan saya, benar-benar guru-guru yang kurang atau bahkan tidak profesional?" Itu jawaban terpenting buat saya, terlepas dari temuan atau laporan yang didapatkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mengapa hal ini menjadi penting buat saya? Jawabannya bermuara ketika pemerintah mengumumkan hasil UKA (Uji Kompetensi Awal) dimana dikatakan skor rata-rata yang didapat sangat rendah. Sampai sejauh ini, saya sendiri tidak mendapatkan kabar, berapa skor saya ketika itu. Bisa jadi, saya adalah yang mendapatkan skor terendah, namun karena belas kasih pemerintah, diluluskan. Persoalan terpenting tadi, pada akhirnya bermuara pada pertanyaan lain, "Apakah uji tertulis adalah satu tolok ukur yang tepat untuk mengatakan bahwa kualitas guru di Indonesia kurang bagus?". Pertanyaan itu juga menjadi satu pertanyaan mirip dengan yang satu ini, "Apakah hasil UN yang rendah menandakan bahwa kemampuan guru yang mengajar berarti sangat minim?" Lalu, pertanyaan itu juga menjadi mirip dengan asumsi ketika para guru kelas 6 dan 9 melakukan test diagnostik, "Kalau gurunya dapat nilai jelek pada test diagnostik, apalagi muridnya." Hal yang patut kita ingat ketika hendak memajukan pendidikan di negara ini adalah, sumber daya manusia tidak hanya diukur dari beberapa lembar kertas tes. Penilaian layak tidaknya seorang menjadi guru sepatutnya dikukur dari banyak sudut dimana salah satunya adalah tes tertulis. Bisa jadi seorang calon guru memiliki nilai tinggi dalam tes tertulis, tetapi sama sekali tidak memiliki kepribadian seorang guru, tidak memiliki kemampuan sosial, kemampuan mendidik dan juga profesionalitas. Bagaimanapun, seorang guru harus bisa berdiri di atas semua kriteria. Pada kenyataannya, sangat sulit mendapatkan seorang guru yang mengatasi semua empat kriteria kompetensi tersebut. Tidaklah jauh kita mencari contoh, saya menilai diri saya sendiri: Secara kepribadian, profesionalitas, pedagogik dan sosial, saya yakin saya mampu. Namun, saya memiliki kriteria menurut penilaian saya pribadi. Nah, ketika kriteria saya dibenturkan dengan apa yang diminta oleh pemerintah, kemungkinan besar ada ketidaksesuaian. Bagaimana membuat titik temunya? Melihat teman-teman di kelas PLPG, maka saya menggolongkan para guru menjadi dua mainstream. Keduanya bukanlah mainstream yang buruk melainkan satu kekurangan dan kelebihan. Kelompok pertama: Guru yang mempunyai paradigma untuk berubah dengan ketidakpedulian akan keadaan mereka secara pribadi. Kelompok kedua: Guru yang mempunyai paradigma untuk berubah namun terbentur keadaan mereka secara pribadi. Apa perbedaanya? Kelompok pertama merupakan guru yang memilih profesi guru tanpa berpikir untung dan rugi. Semua waktu mereka curahkan untuk mendidik. Seringkali mereka bahkan mengorbankan waktu untuk keluarga mereka demi idealisme. Kelompok ini juga tidak peduli apakah pemerintah memperhatikan kesejahteraan mereka atau tidak, yang terpenting adalah misi mereka sebagai pendidik terlaksana. Apakah pemerintah tahu hal ini? Bagaimana menengarainya? Kelompok kedua merupakan guru yang memilih profesi guru tanpa berpikir untung dan rugi pada awalnya. Namun seiring waktu, pengorbanan yang mereka lakukan tidak ada yang memperhatikan. Sementara itu, kebutuhan pribadi semakin mendesak, idealisme terongrong. Kelompok ini mengharapkan ada perhatian khusus dari pemerintah untuk kesejahteraan guru. Kelompok ini, baik guru negeri maupun swasta, menjadi dimarjinalkan dan dilorot derajatnya sebagai seorang guru. Apakah pemerintah tahu hal ini? Bagaimana mengatasinya? PLPG adalah satu solusi bagus untuk peningkatan profesionalisme guru. Embel-embel penghargaan yang didapat setelah PLPG tentunya adalah hal wajar untuk mengangkat kualitas guru secara ekonomi. Namun demikian, apabila PLPG hanya berhenti sampai pada tahap ini, alangkah disayangkan. Buat saya pribadi, PLPG adalah pantas untuk dijadikan sebuah alat untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas guru. Oleh karenanya, PLPG sebaiknya ditingkatkan menjadi satu pelatihan reguler yang diatur tingkatannya menjadi tingkat dasar, lanjutan dan spesialisasi. Tingkat dasar untuk para guru yang baru terjun dalam profesi guru. Tingkat lanjutan diperuntukan bagi para guru yang ingin meningkatkan profesionalitas, pengetahuan pedagogik dan ilmu keguruan. Sementara tingkatan spesialisasi diperuntukkan bagi guru yang ingin meningkatkan kemampuan mendidik yang lebih spesifik. Melihat teman-teman PLPG yang berada di kelas yang sama, maka saya bisa mengatakan bahwa guru-guru di Indonesia memang harus lebih banyak saling belajar. PLPG bisa menjadi ajang saling belajar baik dari akademisi seperti pengajar dari Universitas Negeri Jakarta, maupun para pemerhati pendidikan. Kekuatan mereka yang di depan kelas anak-anak bisa disinergikan dengan mereka yang berada di depan kelas dewasa. Kenapa tidak? Banyak ide yang saya dapatkan dari para guru yang berada di kelas PLPG. Mereka semua adalah guru dengan idealisme dan kemampuan mengajar yang baik. Oleh karenanya, pemarjinalan melalui nilai UKA sangatlah kurang bijaksana. Menurut anda? salam, Hugo Indratno Seringkali saya mendapatkan pertanyaan, "mengapa repot-repot menulis blog?"
Mendapat dan Memberi Buat saya pribadi, menulis di blog adalah satu kepuasan dari penularan pikiran yang tanpa harus diedit oleh pihak lain. Tulisan-tulisan yang saya tulis sendiri merupakan jejak pemikiran yang akan terekam entah sampai kapan. Disamping itu, saya juga bisa mereview pemikiran itu sendiri. Bisa jadi, apa yang saya tulis beberapa hari yang lalu ternyata adalah suatu kekeliruan atau kurang lengkap. Pada akhirnya, langkah-langkah itu mengasah saya untuk lebih maju lagi. Selain menulis blog, saya juga aktif memberikan workshop atau seminar baik skala nasional maupun mini workshop. Tidak ada masalah bagi saya karena keduanya merupakan penularan ilmu dan juga proses berbagi dan saling mendewasakan. Banyak hal yang saya dapat dari membaca berita yang ditulis para jurnalis seperti halnya ilmu yang saya dapat juga dari teman-teman guru lainnya. Itulah mengapa, saya banyak mendorong teman-teman sejawat untuk "berani" berbagi dalam setiap kesempatan. Jago Tandang Bukan Jago Kandang Seringkali kita melihat diri kita hanya berani berbicara di lingkungan yang mengenal kita. Lebih sering kita menutup diri untuk berbicara di depan mereka yang tidak mengenal kita. "Takut" adalah kata yang sering dipakai. Mengapa takut? Kita semua memiliki perasaan itu, tapi untuk berbagi ilmu dan menimba ilmu, jangan takut! Inovasi yang kita lakukan sebagai profesional, seharusyalah dibagi. Jangan kita simpan inovasi itu, karena saat pihak lain melakukan hal yang sama, baru kita menuduh mereka "pencontek". Lebih baik kita membagikan inovasi yang kita buat sehingga pengakuan itu datang. Lebih senang, setelah itu ada yang mengembangkan inovasi yang kita ciptakan. Berarti kita telah menginspirasi teman-teman yang lain. Selamat! Semoga sedikit celoteh saya di tulisan kesekian ini membangkitkan semangat berbagi ilmu buat para pembaca blog ini. Saya masih mencari lebih banyak ilmu dan ingin juga menciptakan inovasi baru dalam pendidikan Indonesia. Ayo! salam, Hugo Indratno |