guruhugo.id
  • TERAS
  • CERITAKU
    • ADE 2015
    • Pemikiran
    • Workshops
  • JALINAN
    • Konsultasi
  • TERAS
  • CERITAKU
    • ADE 2015
    • Pemikiran
    • Workshops
  • JALINAN
    • Konsultasi

MAAF, KELAS SAYA BERANTAKAN

9/16/2018

0 Comments

 
Maaf, cerita ini selalu saya ulang di setiap kesempatan berbagi dengan saudara-saudara muda pendidik Indonesia. Mengapa begitu? Sederhana sekali jawabannya: cerita ini menunjukkan bahwa kemauan belajar berbuah manis. Penasaran? Silahkan membaca kisah saya ini.

Sebagai seorang guru alias pendidik, saya bukanlah pendidik yang cerdas, penuh persiapan dan tertib administrasi. Apabila seorang penilai ditugaskan untuk datang ke kelas, maka saya bisa membayangkan nilai yang akan saya dapat. Kemungkinan terbaik, saya akan mendapatkan angka 6. Ya, apabila sang penilai kasihan, maka naik sedikit menjadi 6,5.

Bagaimana tidak demikian? Saya bukanlah tipe guru cerdas yang bisa menterjemahkan teori-teori kognitif ke dalam rencana-rencana pembelajaran. Saya tidak tahu apakah rencana-rencana pembelajaran yang saya persiapkan mempunyai alur teoritis. Bahkan mungkin tidak mengerti, apakah rencana-rencana pembelajaran yang saya lakukan layak untuk dipakai oleh guru lain sebagai acuan. Mungkin sebagai bahan kritik contoh rencana pembelajaran yang perlu banyak perbaikan, pas sekali!

Rencana pembelajaran yang saya buat, benar-benar melihat penuh dengan “keraguan” apakah peserta didik alias murid bisa memahami pembelajaran. Oleh karenanya, rencana pembelajaran saya penuh dengan coret-coret keterangan bahwa si “A” paham pembelajaran yang telah didapat dan perlu tambahan contoh-contoh di kehidupan sehari-hari. Sementara si “B” perlu tambahan waktu - mungkin setelah makan siang saat saya tidak ada tugas mengawasi anak-anak bermain - untuk memahami pembelajaran yang minggu lalu diberikan. Bisa juga si “C”, “D” dan seterusnya perlu berkelompok untuk saling bertukar pemahaman. Semakin ditambah coretan tulisan saya sendiri yang mengatakan, “mungkin saya kurang jelas menyampaikannya”. Melihat rencana pembelajaran itu, saya sendiri menjadi ragu-ragu tentang kualitas pembelajaran yang saya berikan.

Sebagai sebuah konsekuensi untuk menjawab “keraguan” itu, maka saya menyediakan dua buah meja khusus. Kedua meja tersebut khusus untuk buku-buku perpustakaan yang dipinjam atas nama saya. Buku-buku tersebut adalah buku yang bisa dibaca para siswa dan juga saya. Tambahan konsekuensi adalah di setiap dinding dan kaca ruang kelas penuh dengan tempelan potongan-potongan kertas beraneka warna dengan ukuran seragam yang berisikan tulisan siswa akan banyak informasi, pertanyaan, jawaban atau bahkan sanggahan dari teman-temannya.

Masih segar dalam ingatan saya ketika guru rekan yang mengajar di kelas saya geleng-geleng kepala. Mereka mencoba mengarahkan para siswa untuk merapikan tempelan-tempelan tersebut. Atau dengan sukarela mereka merapikan buku-buku dan juga tumpukan tugas-tugas siswa yang sedang saya periksa. Maka saya akan terkejut dan terharu ketika melihat meja saya menjadi sangat rapi. Namun beberapa detik kemudian menjadi sangat panik mencari tugas-tugas yang harus saya koreksi di tumpukan yang sudah teramat rapi.

Oh ya, kelas saya juga penuh dengan percobaan-percobaan para siswa yang dihasilkan dari rasa penasaran mereka. Di belakang ada sederet percobaan klasik pertumbuhan biji kacang hijau yang dibiarkan tumbuh di medium kapas basah, pasir basah, tanah yang dibatasi sekat dengan air di bawah sekatnya, atau tumbuh dengan cahaya terbatas dan sedikit oksigen. Sementara di bagian kanan ada air hujan yang ditampung di botol-botol bekas selai. Air hujan itu “korban” percobaan dengan kertas litmus tentang seberapa asam hujan yang mengguyur kota Jakarta dari belahan yang berbeda. Percobaan itu lengkap dengan grafik batang tingkat keasaman dari masing-masing tempat dan juga kurun waktunya.  Lalu di bagian kiri kelas ada papan lunak yang penuh tempelan kertas-kertas berisi puisi-puisi tentang curahan hati para siswa tentang dunia ini. Kertas-kertas itu dipotong, diwarnai, dipermak menurut “tafsir” mereka dari puisi yang mereka buat sendiri.

Pendek kata, kelas itu berantakan! Be-ran-tak-kan! Itu menurut para pengunjung kelas saya. Walau secara jujur, saya melihat para siswa senang sekali berada di kelas itu. Setiap hari terjadi dialog, entah itu mengenai puisi, biji kacang hijau yang sudah berbentuk tauge, air hujan yang asam hendak diubah menjadi air minum, mengajak temannya membuat grafik penyuka puisi di sekolah, atau berbagi isi buku yang mereka baca. Saya ingat sampai hari ini, kelas itu seperti “rumah” buat mereka.
​

Namun, sebagai orang yang mempunyai sopan santun, saya selalu berkata dengan jujur kepada setiap orang yang masuk ke kelas, “maaf, kelas saya berantakan”. Saya mengatakan itu kepada kepala sekolah, orangtua murid, teman-teman guru bahkan kepada diri saya sendiri. Saya berharap dengan mengatakan kalimat tersebut, maka mereka semua akan mau memaklumi. Setelah maklum, lalu mereka akan rela hati untuk melihat isi kelas berantakan tersebut. Syukur-syukur mereka semua mau mendoakan agar kelas saya menjadi lebih rapi. Amin!

salam pendidikan,

Hugo Indratno


0 Comments



Leave a Reply.