Maaf, cerita ini selalu saya ulang di setiap kesempatan berbagi dengan saudara-saudara muda pendidik Indonesia. Mengapa begitu? Sederhana sekali jawabannya: cerita ini menunjukkan bahwa kemauan belajar berbuah manis. Penasaran? Silahkan membaca kisah saya ini.
Sebagai seorang guru alias pendidik, saya bukanlah pendidik yang cerdas, penuh persiapan dan tertib administrasi. Apabila seorang penilai ditugaskan untuk datang ke kelas, maka saya bisa membayangkan nilai yang akan saya dapat. Kemungkinan terbaik, saya akan mendapatkan angka 6. Ya, apabila sang penilai kasihan, maka naik sedikit menjadi 6,5. Bagaimana tidak demikian? Saya bukanlah tipe guru cerdas yang bisa menterjemahkan teori-teori kognitif ke dalam rencana-rencana pembelajaran. Saya tidak tahu apakah rencana-rencana pembelajaran yang saya persiapkan mempunyai alur teoritis. Bahkan mungkin tidak mengerti, apakah rencana-rencana pembelajaran yang saya lakukan layak untuk dipakai oleh guru lain sebagai acuan. Mungkin sebagai bahan kritik contoh rencana pembelajaran yang perlu banyak perbaikan, pas sekali! Rencana pembelajaran yang saya buat, benar-benar melihat penuh dengan “keraguan” apakah peserta didik alias murid bisa memahami pembelajaran. Oleh karenanya, rencana pembelajaran saya penuh dengan coret-coret keterangan bahwa si “A” paham pembelajaran yang telah didapat dan perlu tambahan contoh-contoh di kehidupan sehari-hari. Sementara si “B” perlu tambahan waktu - mungkin setelah makan siang saat saya tidak ada tugas mengawasi anak-anak bermain - untuk memahami pembelajaran yang minggu lalu diberikan. Bisa juga si “C”, “D” dan seterusnya perlu berkelompok untuk saling bertukar pemahaman. Semakin ditambah coretan tulisan saya sendiri yang mengatakan, “mungkin saya kurang jelas menyampaikannya”. Melihat rencana pembelajaran itu, saya sendiri menjadi ragu-ragu tentang kualitas pembelajaran yang saya berikan. Sebagai sebuah konsekuensi untuk menjawab “keraguan” itu, maka saya menyediakan dua buah meja khusus. Kedua meja tersebut khusus untuk buku-buku perpustakaan yang dipinjam atas nama saya. Buku-buku tersebut adalah buku yang bisa dibaca para siswa dan juga saya. Tambahan konsekuensi adalah di setiap dinding dan kaca ruang kelas penuh dengan tempelan potongan-potongan kertas beraneka warna dengan ukuran seragam yang berisikan tulisan siswa akan banyak informasi, pertanyaan, jawaban atau bahkan sanggahan dari teman-temannya. Masih segar dalam ingatan saya ketika guru rekan yang mengajar di kelas saya geleng-geleng kepala. Mereka mencoba mengarahkan para siswa untuk merapikan tempelan-tempelan tersebut. Atau dengan sukarela mereka merapikan buku-buku dan juga tumpukan tugas-tugas siswa yang sedang saya periksa. Maka saya akan terkejut dan terharu ketika melihat meja saya menjadi sangat rapi. Namun beberapa detik kemudian menjadi sangat panik mencari tugas-tugas yang harus saya koreksi di tumpukan yang sudah teramat rapi. Oh ya, kelas saya juga penuh dengan percobaan-percobaan para siswa yang dihasilkan dari rasa penasaran mereka. Di belakang ada sederet percobaan klasik pertumbuhan biji kacang hijau yang dibiarkan tumbuh di medium kapas basah, pasir basah, tanah yang dibatasi sekat dengan air di bawah sekatnya, atau tumbuh dengan cahaya terbatas dan sedikit oksigen. Sementara di bagian kanan ada air hujan yang ditampung di botol-botol bekas selai. Air hujan itu “korban” percobaan dengan kertas litmus tentang seberapa asam hujan yang mengguyur kota Jakarta dari belahan yang berbeda. Percobaan itu lengkap dengan grafik batang tingkat keasaman dari masing-masing tempat dan juga kurun waktunya. Lalu di bagian kiri kelas ada papan lunak yang penuh tempelan kertas-kertas berisi puisi-puisi tentang curahan hati para siswa tentang dunia ini. Kertas-kertas itu dipotong, diwarnai, dipermak menurut “tafsir” mereka dari puisi yang mereka buat sendiri. Pendek kata, kelas itu berantakan! Be-ran-tak-kan! Itu menurut para pengunjung kelas saya. Walau secara jujur, saya melihat para siswa senang sekali berada di kelas itu. Setiap hari terjadi dialog, entah itu mengenai puisi, biji kacang hijau yang sudah berbentuk tauge, air hujan yang asam hendak diubah menjadi air minum, mengajak temannya membuat grafik penyuka puisi di sekolah, atau berbagi isi buku yang mereka baca. Saya ingat sampai hari ini, kelas itu seperti “rumah” buat mereka. Namun, sebagai orang yang mempunyai sopan santun, saya selalu berkata dengan jujur kepada setiap orang yang masuk ke kelas, “maaf, kelas saya berantakan”. Saya mengatakan itu kepada kepala sekolah, orangtua murid, teman-teman guru bahkan kepada diri saya sendiri. Saya berharap dengan mengatakan kalimat tersebut, maka mereka semua akan mau memaklumi. Setelah maklum, lalu mereka akan rela hati untuk melihat isi kelas berantakan tersebut. Syukur-syukur mereka semua mau mendoakan agar kelas saya menjadi lebih rapi. Amin! salam pendidikan, Hugo Indratno
0 Comments
Berbicara tentang teknologi dalam pembelajaran, apa yang saya maksudkan? Hal mendasar yang saya maksudkan adalah penggunaan alat-alat hasil dari perkembangan teknologi yang digunakan dalam pembelajaran. Sebagai gambaran sederhana, perkembangan dari batu tulis menuju papan tulis dan kapur, kemudian digantikan oleh overhead projector (OHP) di mana nantinya ditambahkan laboratorium bahasa dan komputer, belum lama ini mereka tergerus oleh komputer jinjing alias laptop dan sekarang banyak berseliweran tablet di kelas-kelas.
Apa yang sedang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini? Tulisan pendek ini sebenarnya hanya sebuah ungkapan dari pemikiran untuk mengingatkan para pendidik lainnya bahwa zaman bergerak terus. Karena zaman bergerak, maka kita semua sebagai pendidik terutama pendidik di negeri ini, Indonesia, haruslah mulai membaca zaman dengan cerdas. Kita semua terlibat secara intens dalam keseharian bersama para anak didik, maka mari mulai bergerak seiring zaman membawa mereka para anak didik. Apa yang hendak saya katakan sangat sederhana. Para pendidik sekalian, mulailah untuk sadar bahwa pola pikir anak-anak didik kita bukan lagi para penerima informasi satu arah. Mereka sekarang menjadi penerima informasi dari brbagai arah. Lebih dari itu, mereka juga meneruskan informasi yang didapat dengan mengolahnya terlebih dahulu. Olahan itu menjadi berlanjut ketika hasil olahan itu matang atau tidak. Apa yang dimaksud matang? Yang dimaksud adalah kemampuan mengolah informasi yang didapat. Kemampuan mengolah informasi dimulai dari hal mendasar yaitu ketika menerima informasi. Apakah mereka sadar bahwa informasi yang diterima sarat kepentingan atau benar-benar informasi akurat yang ditujukan untuk meningkatkan pembelajaran? Kemudian, ketika informasi itu merek olah lalu dibagikan kembali, apakah mereka memahami kode etik menyampaikan informasi yang didapat dari sumber-sumber lain? Masih banyak pertanyaan yang bisa kita buat untuk bagian menerima dan mengolah informasi. Namun, para pendidik sekalian, apakah Anda semua paham bagian-bagian tersebut? Mengapa saya bertanya demikian? Pertanyaan saya pada dasarnya mencoba menggelitik Anda semua, apakah Anda cukup kritis untuk menjadi contoh bagi anak didik kita semua bagaimana menjadi seorang peneliti? Atau jangan-jangan banyak dari antara kita yang dengan santai mengatakan,"Cari saja di YouTube!", "Coba kamu Google!", atau "Kamu bisa cari PDF-nya online". Tampaknya semua yang dikatakan baik-baik saja. Namun ada satu pertanyaan menggelitik, apakah semua yang mereka cari di YouTube itu dapat dipercaya? Lalu, apakah mereka tahu bagaimana mencari informasi dengan benar menggunakan mesin pencari Google. Atau, apakah kita sadar file PDF yang mereka dapatkan di internet itu memiliki hak cipta atau tidak? Saudara-saudaraku para pendidik semua, jadilah lebih kritis. Carilah informasi yang benar dahulu sebelum melepas anak didik kita ke belantara dunia maya. Mari kita belajar bersama bagaiman menjadi warga digital - digital citizen - yang baik agar kita bisa menjadi contoh yang patut ditiru bagi anak didik kita. Bagaimana memulainya? Cobalah memulainya dengan melihat 3 hal sederhana ini: Informasi yang benar berarti ada penanggungjawab konten yang diakui, ada hak cipta dalam setiap karya, dan mengerti bagaimana sebuah informasi dicari dengan benar (seperti apabila Anda ke perpustakaan. Ingat katalog buku?). Masih banyak hal lainnya yang patut kita bicarakan, namun tulisan ini memang dimaksudkan sebagai tulisan pendek belaka. Ayo, bangkit dan sadar bahwa kita pendidik yang mengerti bagaimana membaca zaman! salam pendidikan, Hugo Indratno (Dimuat juga di website kelastanpabatas.com)
Ki Hajar Dewantara dengan semboyan pendidikannya yaitu “Ing ngarso sung tuladha”, “Ing madya mangun karsa”, dan “Tut wuri handayani” meletakkan satu kekuatan dalam panggilan menjadi guru. Memang hal yang dikatakan Beliau sering kita dengarkan, bicarakan atau renungkan. Terdengar klise dan mengalir begitu saja tanpa dimaknai oleh kita pewaris negara ini. Pewaris negara ini semestinya bangga, bahwa di darah manusia Indonesia yang bertautan sepanjang kepulauan nusantara, ada dengung semboyan pendidikan dari Ki Hajar Dewantara. Semboyan pendidikan yang mengemuka tersebut, bukan hanya ditujukan kepada kaum pendidik, melainkan kepada semua insan warga negara. Anda, saya, kita semua adalah mahluk yang membutuhkan dan memberikan keteladanan, membangun keinginan baik dan mendorong upaya keberlangsungan kebaikan itu. Kita memang sewajarnya begitu karena kita manusia berbudaya. Kita terlahir untuk dididik sepanjang hidup dan mendidik sepanjang hayat. Maka sewajarnya juga, pendidikan yang berlangsung di negara ini menjadi kekuatan dalam membangun kemanusiaan. Manusia menjadi kuat ketika mengalami pendidikan secara alami maupun terkondisi. Oleh karenanya, tidak berlebihan ketika saya mengatakan bahwa kita semua adalah pendidik. Walau begitu, kita semua belum dapat dikatakan sebagai guru. Kita semua adalah pendidik tetapi tidak semuanya adalah guru. Sangat berat ketika saya mengatakan bahwa diri saya adalah seorang guru. Mengapa demikian? Karena untuk menjadi seorang guru, banyak sekali hal-hal yang seorang individu harus lampaui. Salah satu yang harus dilampaui seorang guru adalah pencerahan. Mengenai kata pencerahan ini, Budi Hardiman dalam bukunya Kritik Ideologi mengutip apa yang dikatakan Kant, seorang filsuf, “Sapere Aude!” yang berarti “Beranilah mempergunakan pikiranmu sendiri!”. Artinya bahwa seorang manusia dengan pencerahan harus bisa menggunakan pikirannya sendiri tanpa khawatir dengan kungkungan sistem atau lingkungan sebagai bentuk tanggungjawab pada pencerahan yang ia miliki. Pada bagian ini, menurut hemat saya, seorang guru berkutat. Seorang guru bukan hanya berperan sebagai pendidik, melainkan orang yang mempunyai tanggungjawab mempergunakan pemikirannya untuk sesama. Seorang guru tidak berpikir tentang sistem yang akan menghalangi pemikirannya untuk memajukan kemanusiaan manusia. Seorang guru tidak akan bertekuk lutut hanya kepada keterbatasan yang membuat karyanya terhambat. Seorang guru berani mempergunakan pikirannya sendiri. Bagaimana bisa? Menurut hemat saya, karena menjadi seorang guru bukanlah satu dari ribuan kotak profesi yang diciptakan manusia. Menjadi seorang guru adalah menjadi bagian budaya manusia yang memang terpola dididik dan mendidik. Guru adalah panggilan kebudayaan. Menjadi sangat menarik ketika manusia yang menjalankan peran seorang guru tetapi belum dapat membebaskan pikirannya. Sementara pikirannya terkungkung oleh sistem yang berliku-liku, maka dapat dibayangkan insan muda yang mengikuti pembelajarannya. Insan muda itu hanya akan berhenti sebagai pembeo yang selalu terpesona dengan kehadiran hal baru tanpa tahu bagaimana bersikap. Mengerikan apabila ketidakmampuan membebaskan pikiran itu menjadi massal karena ketidakberdayaan berada dalam sistem. Sistem yang mereka ciptakan sendiri untuk mengatakan bahwa mereka memiliki kebebasan berpikir. Lalu, bagaimana mungkin kita bersandar pada butir-butir soal yang dijadikan tolok ukur untuk menyatakan bahwa insan muda mempunyai kompetensi untuk berpikir? Alih-alih dari itu semua adalah lahirnya generasi yang senada dengan yang sebelumnya. Pembeo. Kisah-kisah guru yang berdedikasi di pelosok negeri ini adalah satu wujud guru yang telah dapat membebaskan pikirannya. Mereka menampilkan sesuatu yang seakan mustahil dilakukan. Bahkan, kehadiran mereka menginspirasi siswa-siswinya melampaui rintangan untuk hadir di sekolah. Secara pribadi, saya dengan jujur akan kesulitan menyamai kapasitas dedikasi mereka semua. Beberapa dari mereka mendapatkan penghargaan dari negara atas dedikasi tersebut. Namun, apakah negara berhenti sampai pada memberikan penghargaan? Tidakkah negara sebagai pengayom para guru melihat lebih jauh ke depan daripada sekedar penghargaan? Bagaimana dengan membuka akses jalan menuju sekolah, memberikan bantuan utuh bukan ala kadarnya untuk bangunan sekolah layak, dan mendampingi sebagai bentuk hadirnya pemerintah? Menurut hemat saya, negara dalam hal ini pemerintah, bukanlah hanya sekedar penyelenggara pendidikan sebagai bagian dari keinginan mencerdaskan bangsa, namun lebih kepada pengayom kepada mereka semua yang terus mencari pencerahan dalam cahaya pendidikan. Kementerian Pendidikan yang diselenggarakan oleh negara bukan hanya sebuah sematan legal bahwa kita mengakui pentingnya pendidikan. Terlebih dari itu, kementerian ini adalah pengakuan pemerintah akan budaya mengasuh untuk keberlangsungan pendidikan yang terbaik bagi bangsa ini. Bukankah kita bangsa yang berbudaya? Sebuah refleksi bagi mereka yang memilih panggilan budaya sebagai guru, apa yang Anda semua cari? Secara pribadi, saya sedang menjalankan pencerahan dimana saya terus berpikir untuk berinteraksi dengan guru-guru lainnya. Interaksi yang memungkinkan setiap guru saling berbagi pencapaian tanpa merasa ada pengkotak-kotakan status guru dari sebuah sistem pemerintahan. Interaksi yang tanpa dibuntuti kekhawatiran tidak adanya restu dari pejabat pemerintahan. Interaksi yang menghadirkan kejujuran untuk berkembang bersama. Interaksi yang didapat dari setiap mereka yang mengabdikan dirinya sebagai guru yang dihasilkan dari kebudayaan manusia. Interaksi sebagai bentuk komunikasi manusia berbudaya, bukan pembeo. salam, Hugo Indratno Sekian tahun yang lalu dalam sebuah wawancara kerja, ada satu pertanyaan menarik yang dilontarkan kepada saya. "Mana yang lebih penting, akademik atau sikap?" Saya terdiam sejenak. Lalu mencoba bertanya untuk sebuah jawaban diplomatis, klise dan berimbang. "Apa bisa jawabannya bahwa keduanya sama penting?" Penanya, yang tiada lain adalah calon pimpinan saya (saya sebut calon karena belum resmi menjadi pimpinan saya, bukan?) tersenyum. Lalu Beliau berkata, "Hugo, Anda harus menjawab mana yang lebih penting. Artinya memang keduanya penting. Hanya saja, saya mau mendengar dari Anda, mana yang lebih penting". Setelah terdiam sejenak, maka saya menjawab dengan mantap: Sikap. Lalu saya mulai memberikan alasan-alasan mengapa sikap lebih penting daripada akademik. Saya menggambarkan dalam pola sebuah pencapaian. Bagi saya, pencapaian sikap lebih penting karena ketika sikap telah terbentuk dengan bagus, akademik akan dengan serta merta mengikuti. Walau begitu, saya masih menambahkan bahwa kemampuan akademik juga melihat minat dari peserta didik juga. Beliau tersenyum mendengar jawaban saya. Beberapa saat kemudian, saya disodori selembar kertas dan sebuah spidol. "Hugo, coba kamu gambarkan secara sederhana tentang jawaban tadi". Setelah berpikir sejenak, saya mulai menggambar. Berikut gambar saya. Lalu kami terlibat dalam satu diskusi, mengapa saya menaruh akademik di bawah garis sementara sikap ada di atas garis. Saya menerangkan bahwa sikap ada di atas akademik karena ia harus ada terlebih dahulu sebelum akademik. Artinya, anak didik harus diajarkan dahulu bagaimana bersikap sebagai individu yang terikat dengan individu lainnya dalam tatanan keluarga dan masyarakat. Beliau tersenyum. "Saya memiliki gambar yang mirip dengan Anda. Begini gambar saya". Gambar yang Beliau sodorkan memang mirip dengan gambar saya. Hanya saja perpotongan garisnya bukan horizontal melainkan diagonal. Berikut gambarnya: Beliau menjelaskan bahwa kita sebagai pendidik bisa membawakan sikap dan akademik bersamaan. Perbedaannya adalah terletak di titik beratnya. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa porsi sikap lebih besar daripada akademik di awal garis diagonal. Saya yang mendengar penjelasan Beliau, magut-mangut tanda setuju. Benar dan setuju atas apa yang dikatakan Beliau. Itulah yang terbaik untuk melihat bagaimana pencapaian sikap harus menjadi prioritas. Sangat menarik untuk menjadi pengingat buat kita para pendidik.
Semoga kita semua, para pendidik dan juga (menurut hemat saya) para orangtua, bisa melihat bahwa mendidik sikap yang benar adalah hal paling mendasar dibandingkan mengejar pencapaian akademik. Kita ini adalah mahluk yang berelasi dan berkeinginan sosial, maka sikap kita adalah keutamaan. tabik, Hugo Indratno SAMR (Substitution, Augmentation, Modification and Redefinition) adalah satu model yang dicetuskan oleh Ruben R. Puentedura.
Apa itu SAMR? Saya akan mencoba membahasnya secara sederhana dalam postingan kali ini. Teknologi di sekolah, yang banyak dipahami sebagai penggunaan komputer atau alat bantu belajar yang menggunakan teknologi, sering digunakan hanya sebatas pengetahuan dan tempelan dari pembelajaran itu sendiri. Pemahaman tentang penggunaan teknologi dalam pembelajaran di kelas sangat menarik karena benar-benar akan membuka mata kita, baik sebagai pendidik maupin pembelajar. Sejalan dengan perkembangan penggunaan teknologi, maka pembelajaran di kelas, sewajarnya juga sudah bergeser. Dahulu, kita mengenal laboratorium komputer. Sebuah sekolah yang mempunyai laboratorium komputer bahkan laboratorium bahasa, akan sangat dipandang sebagai sekolah yang maju. Namun, hal menarik yang patut dicermati adalah, apakah yang diajarkan di dalam laboratorium tersebut? Skill mengetik? Skill mendengarkan? Skill mengetik, skill mendengarkan, skill mengolah data, semuanya sangat mendukung pekerjaan sehari-hari. Hal yang saya coba garisbawahi di sini adalah kata "mendukung". Sementara, paradigma pembelajaran sekarang bukanlah terkotak-kotak pada disiplin pelajaran tertentu, melainkan saling terkait. Saling terkait antara satu pembelajaran dengan pembelajaran lainnya sebenarnyalah memang yang terjadi dalam dunia nyata, dunia kerja. Bukankan salah satu hal yang dipersiapkan untuk para siswa adalah untuk siap memasuki dunia kerja? Mari, kita lihat lebih dekat SAMR. Berikut ini, saya akan memberikan contoh penggunaan SAMR, agar Anda lebih bisa mengerti secara cepat. Substitution: Pada tahap ini, kita mencoba menggunakan teknologi namun sebatas pada "mengganti" media yang sudah ada dengan media lain dengan sentuhan teknologi. Contoh kegiatan yang sering terjadi adalah: menulis karangan menggunakan prosesor penulisan (MS Word, Pages, dll). Kegiatan itu hanyalah "memindahkan" tulisan yang sebelumnya menggunakan pensil dan kertas, menjadi papan ketik dan layar komputer. Nilai yang didapat, tentu saja hanya sekedar pemindahan. Augmentation: Pada tahap ini, kita mencoba menggunakan teknologi dengan menambah fitur-fitur untuk lebih memberdayakan teknologi dari Substitution yang hanya memindahkan media. Contoh kegiatan yang dapat terjadi adalah menulis menggunakan prosesor penulisan dengan beberapa tambahan fitur seperti link ke website tertentu, menambah gambar, grafik, dll. Modification: Pada tahap ini, kita mencoba menggunakan teknologi dapat dibagi dengan pihak lain. Hal ini bisa dilakukan menggunakan "Google Docs, dkk", "Blog" dan lainnya.Kegiatan ini, ada penambahan nilai dimana pihak lain dapat melihat, memberi kritik, komentar, mengedit dokumen yang sama dan menambah adanya nuansa kerjasama. Redefinition: Pada tahap ini, kita mencoba menggunakan teknologi untuk mengubah bentuk awal menjadi satu bentuk baru. Kita ambil contoh kegiatan menulis di atas. Setelah melalui proses Substitution, Augmentation dan Modification, maka ketika masuk dalam Redefinition, tulisan yang sudah melewati tahap kolaborasi, komentar, edit bersama, dijadikan sebuah skenario. Skenario ini lalu dituangkan dalam sebuah filem. Nah, hasil jadinya yang berupa filem ini adalah Redefinition dari bentuk semulanya. Nah, bagaimana semuanya itu bisa terjadi? Diperlukan beberapa tahap di belakang semuanya itu? Hal ini akan saya bahas di postingan berikutnya :) sampai berjumpa di postingan berikut! salam, Hugo Indratno |